Di rumah aja: hari ke-92: Curhat Anak


Hati si Cinta

Cinta anak ku di usianya 10 tahun, aku merasakan perubahan emosinya. Satu waktu tertawa gembira kemudian bisa menangis emosi karena yang menurut ku bukan sesuatu hal yang besar untuk ditangisi secara berlebihan. Kalimat yang keluar dari dirinya diungkapkan dengan rasa kesal, nada bicara yelekit” dan jika tidak senang akan sesuatu ekspresi wajahnya akan terlihat jelas bahwa dia sedang tidak mood.

Dan aku sadar akan hal itu, aku berusaha memahaminya, dan mengingat kondisi ku sewaktu aku di usianya. Perubahan fisiknya pun mulai jelas terlihat, bentuk tubuhnya semakin padat berisi.

Menurut artikel yang aku baca sebagai refensi, dikatakan secara emosional, anak usia 10 tahun sudah mengembangkan perasaan mereka dan memulai proses pencarian jati diri. Pada usia ini  bisa dimulai melatih dan mempercayai Si Kecil untuk mengontrol emosinya sendiri.

Pada saat yang sama, pada artikel ini disebutkan mungkin melihat beberapa hal kurang menyenangkan dalam emosinya yang meledak-ledak.

Hal yang perlu dilakukan menurut artikel tersebut yaitu tak terlalu mengawasinya dengan ketat, namun juga tak membiarkannya bertindak semaunya. Bantu anak untuk belajar bagaimana menghadapi emosi yang tidak nyaman termasuk frustrasi, kemarahan, kekecewaan, rasa bersalah, kecemasan, kesedihan, dan kebosanan.

Sebab, faktor lain yang dapat berperan dalam perubahan suasana hati adalah tekanan pada banyak perubahan yang terjadi pada dirinya secara fisik aupun emosional. Seorang anak berusia 10 tahun bisa juga lmerasa down ketika ia mencoba untuk menghadapi semua perubahan fisik dan perubahan lain dalam hidupnya. Bisa jadi menemui kesulitan saat mencoba menyelesaikan pekerjaan sekolah yang semakin sulit. Juga ketika ia menyesuaikan diri dan bersosialisasi dengan teman-teman. Terutama pada anak perempuan dengan perubahan fisik yang baru sebagai proses tumbuh dewasanya.
Artike selengkapnya: Panduan Perkembangan Anak 10 tahun.

Sedangkan menurut artikel Cara Mengendalikan Emosi Anak, kunci utamanya membantu anak mengatasi emosinya yaitu adalah bonding dengan orangtuanya. Jika orangtua jadi tempat aman untuknya, maka anak akan merasa bahwa apapun situasi sulit yang dihadapi, orangtua akan jadi tempat aman untuknya yang akan mebuat keadaan akan terasa baik-baik saja.

Ketika K2 mencurahkan emosi dengan menangis kesal akibat sesuatu hal, aku pun mendengarkannya, memberikan waktu untuknya untuk meluapkan kekesalannya itu. Setelah itu aku peluk dia, dan ini berhasil pada anak ku, dia akan luluh seketika. Dia akan tenang. Dan kembali ceria. Ketika dipeluk aku berikan belaian ke rambutnya dan belakang punggungnya, aku cium pipinya. Aku tanyakan mengapa dia menangis? Apa yang dia rasakan? Dia akan menceritakan alasannya. Setelah selesai menceritakan alasannya, dia terlihat lega.

Setelah malam harinya, sebelum tidur kami ngobrol  di kamar tidur, aku melihat dia suka akan hal itu, dia akan bercerita apa yang dipikirkannya sampai dia tertidur sambil bergumam, he..he..di saat-saat itu lah aku ajak dia mereview kembali tentang emosinya dan perilaku yang sebaiknya dilakukan jika menghadapi sesuatu hal seperti yang dialaminya tadi.

Karena aku pernah mengalami jika aku langsung mengutarakan bahwa tindakannya kurang benar saat kejadian, dia tidak terima dan semakin kesal. Aku berkaca pada hal itu dan berusaha belajar untuk mengatasi dengan baik lagi dan berusaha tidak mengulang kesaahan yang sama.

Memang benar bonding antara orang tua dan anak kunci utama yang diperlukan dan bonding tidah terbangun dalam satu malam seperti cerita Bandung Bondowoso dan Rara Jongrang yang ternyata gagal dalam membangun candi dalam satu malam, sebenarnya sih ga gagal-gagal banget, karena sudah terbangu 999, kurang satu candi lagi untuk menggenapkan menjadi 1000 buah candi. Dan bonding itu akan lengkap terbangun jika di dalamnya senantiasa berproses memberi ruang dan waktu perhatian dari orangtua kepada anak-anaknya, semenjak mereka lahir hingga dewasa.

Comments

Popular Posts