Belajar Dari Rumah (BDR)

Aku membaca postingan teman ku di fb nya, dia memposting bahwa orang tua siswa ada yang menghendaki guru memberikan tutoring di rumah siswa dan mendampingi proses BDR (Belajar Dari Rumah), kemudian mempertanyakan bagaimana sang guru bisa memberikan pendampingan di rumah ketika sang guru juga menemani anaknya di rumah yang BDR juga.

Aku terenyuh membaca postingannya. Aku memang ibu bekerja di ranah domestik, bisa menemani anak-anak di rumah ketika anak-anak selesai ditemani, siangnya tugas lain menanti ku, aku mengelola bisnis online yang yang sering kali menjadi prioritas ke sekian, dibanding menulis dan membaca atau menerjemahkan, phonegraphy, nguprek design,  bahkan upgrade ilmu parenting, sharing bersama kelas online private bahasa Inggris atau design Yang teori dan praktek masih jauh dari realita🤣teteup berproses ya, bermetamorfosa menjadi kupu-kupu. Daur hidup yang senantiasa disyukuri prosesnya.

Aku menikmati di rumah dengan segala kesibukan yang ada. Lelah, pastinya, ga munafik, donk, apalagi kerjaan di rumah yang monoton, tapi lewat berkreasi di dunia per-online-an dan menulis juga menerjemahkan, kegiatan ku lebih berwarna. Temukan passion dan asah bakat sambil menemukan bakat-bakat dan passion anak.

Yang juga harus keluar rumah untuk bertemu pelanggan ataupun kirim paket buku siroh nabawiyah seperti buku Muhammad Teladanku, Balita Berakhlak Mulia, 24 Nabi dan Rasul Teladan Utama, Buku Pintar Iman Islam, dan 64 Sahabat Nabi Teladan Utama yang laris seperti permen manis, kalau ga percaya bisa buka hatiku di sini kak hatiku  kriteria pria idaman dan idola hatiku, kalau mau tau kriteria idaman ku juga bisa dan bikin kecanduan dan ketagihan. 

Kembali ke postingan tadi. Tak hanya temanku yang seorang guru, ibu yang bekerja di ranah publik pun juga harus meninggalkan anaknya bekerja kemudian anaknya BDR mandiri di rumah sendiri dan belajar tanpa didampingi. Luar biasa.

Hal ini juga, yang membuat salah satu orang tua siswa meminta untuk membagi hasil online pagi ketika mereka masih bekerja agar tidak tertinggal informasi. Karena itulah  tidak semua orang tua bisa mendampingi online.

Aku masih memerlukan bantuan guru pendamping untuk menemani anak-anak belajar dan agar penilaian menjadi objektif terutama belajar tahsin dan tadjwid. Guru datang ke rumah dan beliau sangat ramah dengan anak juga melakukan protokol kesehatan.

Dan di sekolah K1 dan K2, pengalaman hari ini. K2 sudah diberikan lembar pengisian kegiatan harian begitu pula dengan K1. 

Untuk K2 tiap kegiatan yang dilakukan ada poin dan poin nanti akan diakumulasikan. Sedangkan K1 kegiatan menyetorkan foto.

Uneg-uneg ku yaitu semoga kegiatan keseharian itu bisa membuat mereka disiplin, konsisten dan mempergunakan waktu dengan sebaiknya. 

Yang menjadi perhatian ku, semoga mereka melalukan hal itu atas dasar mencari ridho Allah. Dan jika tidak ada poin ataupun nilai, mereka akan dengan ikhlas tetap melaksanakannya. Karena ridho Allah itu dan bukan karena mengejar poin.

Penyetoran foto kegiatan, bagi ku tak bisa juga dilakukan orang tua yang bekerja. Jika anak tinggal sendiri ketika orang tua bekerja maka anak akan kesulitan.

Aku pun berbaik sangka kepada anak-anak ku dan berdoa semoga ketika mereka menjalankan kegiatan-kegiatan itu untuk mengejar ridho Allah bukan poin.


Aku berdoa semoga apa yang dilaksanakan, akan menumbuhkan rasa merendah kepada Allah, memerlukan Allah, terkagum-kagum kepada Allah. Wujud syukur bukan wujud nilai.



Dan di masa pandemi Covid-19, peran Ayah dan Bunda diperlukan sinergi yang terbaik untuk anak-anak di rumah, mengembalikan peran keluarga di rumah, orang tua menjadi arsitek peradaban.



Aku menemukan sebuah tulisan menarik dari blog seseorang yang mengikuti Kuliah Umum Fitrah Based Educationnya Adriano Rusfi, dalam blognya dikatakan, "Adriano Rusfi menciptakan model ayah bekerja cukup dengan 4 jam sehari, sehingga memiliki waktu lebih untuk mendidik anak-anaknya. Tapi jangan juga jadi ayah yang serakah. “Kalau 4 jam saya dapat 30 juta, berarti dalam 8 jam bisa dapat 60 juta nih.”

Terkadang para Ayah pulang bawa gaji, “Ini uang bulan ini, cukup-cukupin ya.” Lantas petantang petenteng seolah bisa menjajah seisi rumah karena merasa pencari nafkah.

Salah satu masalah berat dalam rumah tangga adalah tanggung jawab pendidikan anak, bukan urusan cari uang. Makanya pikir matang-matang kalau mau berpoligami.

Tugas pengajaran bisa didelegasikan ke sekolah, namun tugas pendidikan tetap di rumah. Sekolah tidak bisa dijadikan tulang punggung pendidikan anak. Sekolah berasal dari bahasa latin Schole yang artinya waktu luang. 

Jadi dari sejarahnya, sekolah adalah sekedar kegiatan mengisi waktu luang disela-sela kegiatan utama mereka bermain menghabiskan masa anak-anak mereka. 

Kini sekolah menjadi salah kaprah dengan berubah sebagai kegiatan utama tempat orang tua buang anak. Sehingga orang tua-nya bisa tenang mencari uang untuk bayar sekolah. Sebuah ironi.

Jadikan dalam satu paket, cintai kebenaran dan benci pada kebatilan. Jangan dipisah-pisah.
Kenapa sholat rajin, buang sampah sembarangan juga rajin?

Kenapa puasa senin-kamis, zina juga senin kamis?
Ini karena kita sekedar melatih pembiasaan. Biasa sholat, biasa puasa, tapi tidak biasa buang sampah pada tempatnya.

Kita lebih mengutamakan ibadah dan ahlak, sementara akidah tertinggal dibelakang. Ibadah dan ahlak ini yang menjadi jualan sekolah-sekolah sekarang karena itu yang mudah terlihat dan terukur. 

Padahal yang penting itu akidah atau pondasinya. Namanya juga pondasi, sering tidak kelihatan pada awalnya.

Sekolah akan mengajarkan sholat, tapi tidak bisa bertanggung jawab untuk kedewasaan anak. Terkadang terasa ada yang aneh ketika mendengar komentar, “Tolong doakan anak saya yang baru lulus dan sudah hafizd Quran, semoga mendapatkan pekerjaan.”

Pendidikan kedewasaan itu memerlukan ikatan batin. Beda di elus oleh ibu dengan dielus oleh guru. Saat dielus ibu, antibodi si anak bekerja.

Allah menitipkan hikmah pada orang tua untuk anak-anaknya. Dan itu tidak bisa didelegasikan pada siapapun. Dengan harga berapapun.

Selengkapnya: Blog Kak Shanty

Maka dari itu, aku senantiasa berdoa agar anak-anak ku dilindungi Allah, setelah ikhtiar ku, aku menitipkan penjagaan pada Allah dimana pun merkea berada, hasil didikan ku menjadikan aqidah mereka kuat dan tangguh di mana pun mereka berada.







Comments

Popular Posts