“Menulis adalah mencipta, dalam suatu penciptaan seseorang mengarahkan tidak hanya semua pengetahuan, daya, dan kemampuannya saja, tetapi ia sertakan seluruh jiwa dan nafas hidupnya.”
– Stephen King
Ingin Anak Jadi Produsen, tapi Dididik jadi Konsumen, Bagaimana Ini?
Menonton sekaligus menuliskannya, yup, senang menonton
Ipedia ini kemudian menuliskannya ke dalam blog ku. Mengasah otak sambil
menajamkan daya ingat. Belajar dari hikmah dan pelajaran dari tontonan yang
bermanfaat ini untuk pengembangan diri ini dan mendapat insight dari
lingkungan yang positif.
Aku menonton tayangan ulang Obrolan Dapur Ibu, Sabtu, 07 November 2020,
topiknya yaitu, “Ingin Anak Jadi Produsen, tapi Dididik jadi Konsumen,
Bagaimana Ini?”, Bersama Ibu Septi dan Pak Dodik.
Dan tulisan ini untuk postingan blog ku
hari Ahad, ku cicil di hari Sabtu.
Pola gaya konsumen ini, hanya bisa
menerima. Indonesia adalah market terbesar, ini yang dikatakan produsen di
tingkat dunia, tidak banyak protes jika produknya kurang memuaskan, karena
orang Indonesia itu menerima, tidak mempertanyakan.
”Dan jika
anak-anak kita didik menjadi konsumen inilah yang harus didik memiliki mindset
produsen.”
Ciri-ciri konsumen dilihat sekeliling
kita,pandang diri kita sendiri dulu,
misalnya tidak menghargai inovasi, yaitu akan mencari diskonan. Misalkan teman
menulis buku dan menunggu teman kita untuk diberikan gratis atau harga teman.
Jika menghargai support inovasi teman atau karyanya dengan membeli karya
teman dengan harga dua kali lipatnya.
Lihat anak kita, apakah anak kita
mengikuti arah trend, jika anak kita produsen itu kemana anak kita bisa
mengarahkan arah angin itu, atau melawan arus angin walaupun tidak frontal.
Didiklah anak bermindset menjadi
orang yang memberi gaji, bukan hanya menerima nilai baik dan mendapat gaji
besar. Didiklah anak untuk menghasilkan sebuah karya.
Konsumen itu mudah diatur dan produsen itu
mudah diatur.
Anak-anak yang manut dan mudah diatur, nah
itu yang berhati-hati, bisa jadi menididik anak menjadi konsumen.
Jika anak-anak menjadi kreatif, penuh
gejolak, “mengapa begini dan begitu?”, nah itu tantangan menjadi orang tua akan
lebih bergejolak.
Miskin imajinasi, itu juga tanda konsumen.
Sesuatu yang tidak mungkin, penuh imajinasi bisa jadi anak-anak menjadi
kreatif.
“Hargailah imajinasi yang tidak
terlihat dari anak-anak.”
Orang tua itu puas dengan keberhasilan
anak-anak dengan sesuatu yang pasti misalkan nilai IPS 100, akan tetapi tidak
menghargai imanjinasi anak-anak tentang perang Diponegoro dan lain-lain.
Nah, secara tidak sadar orang tua
mendorong anak-anak menjadi konsumen.
Kontrol ini lah di mulai dari keluarga
agar anak-anak tidak menjadi konsumen.
Kontrol itu yaitu,
·Menyadari diri sendiri bahwa orang tua itu apakahperilakunya konsumen, dan berani memutus mata
rantai itu. Lakukan yang berbeda.
·Melatih diri kita menjadi yang menghasilkan. Misalnya
apapun beli, maka belajar untuk menyenangi apa yang dihasilkan sendiri. Atau melatih
senang menanam, senang menanam buah yang suka kita makan.
·Melatih imajinasi, misalkan ketika kita jajan, “andaikan
resto ini punya kita sendiri, bagaimana ya?”
·4I (Imited dengan
adab, Improve, Innovate, Invention)
·Menghargai kawan-kawan yang menghasilkan produksi,
mendukung teman-teman yang baru memulai, ketika baru mengawali usahanya dengan menghargai,
tidak membebani dengan meminta diskon yang berlebihan.
Untuk mendidik anak menjadi produsen, siap
dengan konsekuensinya,anak-anak itu akan
memiliki strong will, keinginan yang kuat. Contoh, anak-anak diminta
memberikan baju terbaiknya untuk sedekah, dan diambil baju yang terbaru, orang
tua nya kemudian malah tidak setuju.
Ketika anak-anak menceritakan
imajinasinya, dengarkan, tatap matanya, benar-benar mendengarkan, kemudian
direspon, dan bertanya untuk umpan balik kepada anak-anak.
Membuat mainan bekas juga menjadi cara
mendidik anak menjadi produsen.
Untuk sesi pertanyaan yang dijawab oleh
duo keren narasumber, bisa selengkapnya dilihat Obrolan Dapur Ibu
Comments
Post a Comment