Ingin Anak Jadi Produsen, tapi Dididik jadi Konsumen, Bagaimana Ini?

 



Menonton sekaligus menuliskannya, yup, senang menonton Ipedia ini kemudian menuliskannya ke dalam blog ku. Mengasah otak sambil menajamkan daya ingat. Belajar dari hikmah dan pelajaran dari tontonan yang bermanfaat ini untuk pengembangan diri ini dan mendapat insight dari lingkungan yang positif.

Aku menonton tayangan ulang Obrolan Dapur Ibu, Sabtu, 07 November 2020, topiknya yaitu, “Ingin Anak Jadi Produsen, tapi Dididik jadi Konsumen, Bagaimana Ini?”, Bersama Ibu Septi dan Pak Dodik.

Dan tulisan ini untuk postingan blog ku hari Ahad, ku cicil di hari Sabtu.

Pola gaya konsumen ini, hanya bisa menerima. Indonesia adalah market terbesar, ini yang dikatakan produsen di tingkat dunia, tidak banyak protes jika produknya kurang memuaskan, karena orang Indonesia itu menerima, tidak mempertanyakan.

”Dan jika anak-anak kita didik menjadi konsumen inilah yang harus didik memiliki mindset produsen.”

Ciri-ciri konsumen dilihat sekeliling kita,  pandang diri kita sendiri dulu, misalnya tidak menghargai inovasi, yaitu akan mencari diskonan. Misalkan teman menulis buku dan menunggu teman kita untuk diberikan gratis atau harga teman. Jika menghargai support inovasi teman atau karyanya dengan membeli karya teman dengan harga dua kali lipatnya.

Lihat anak kita, apakah anak kita mengikuti arah trend, jika anak kita produsen itu kemana anak kita bisa mengarahkan arah angin itu, atau melawan arus angin walaupun tidak frontal.

Didiklah anak bermindset menjadi orang yang memberi gaji, bukan hanya menerima nilai baik dan mendapat gaji besar. Didiklah anak untuk menghasilkan sebuah karya.

Konsumen itu mudah diatur dan produsen itu mudah diatur.

Anak-anak yang manut dan mudah diatur, nah itu yang berhati-hati, bisa jadi menididik anak menjadi konsumen.

Jika anak-anak menjadi kreatif, penuh gejolak, “mengapa begini dan begitu?”, nah itu tantangan menjadi orang tua akan lebih bergejolak.

Miskin imajinasi, itu juga tanda konsumen. Sesuatu yang tidak mungkin, penuh imajinasi bisa jadi anak-anak menjadi kreatif.

“Hargailah imajinasi yang tidak terlihat dari anak-anak.”

Orang tua itu puas dengan keberhasilan anak-anak dengan sesuatu yang pasti misalkan nilai IPS 100, akan tetapi tidak menghargai imanjinasi anak-anak tentang perang Diponegoro dan lain-lain.

Nah, secara tidak sadar orang tua mendorong anak-anak menjadi konsumen.

Kontrol ini lah di mulai dari keluarga agar anak-anak tidak menjadi konsumen.

Kontrol itu yaitu,

·         Menyadari diri sendiri bahwa orang tua itu apakah  perilakunya konsumen, dan berani memutus mata rantai itu. Lakukan yang berbeda.

·         Melatih diri kita menjadi yang menghasilkan. Misalnya apapun beli, maka belajar untuk menyenangi apa yang dihasilkan sendiri. Atau melatih senang menanam, senang menanam buah yang suka kita makan.

·         Melatih imajinasi, misalkan ketika kita jajan, “andaikan resto ini punya kita sendiri, bagaimana ya?”

·         4I (Imited dengan adab, Improve, Innovate, Invention)

·         Menghargai kawan-kawan yang menghasilkan produksi, mendukung teman-teman yang baru memulai, ketika baru mengawali usahanya dengan menghargai, tidak membebani dengan meminta diskon yang berlebihan.

Untuk mendidik anak menjadi produsen, siap dengan konsekuensinya,  anak-anak itu akan memiliki strong will, keinginan yang kuat. Contoh, anak-anak diminta memberikan baju terbaiknya untuk sedekah, dan diambil baju yang terbaru, orang tua nya kemudian malah tidak setuju.

Ketika anak-anak menceritakan imajinasinya, dengarkan, tatap matanya, benar-benar mendengarkan, kemudian direspon, dan bertanya untuk umpan balik kepada anak-anak.

Membuat mainan bekas juga menjadi cara mendidik anak menjadi produsen.

Untuk sesi pertanyaan yang dijawab oleh duo keren narasumber, bisa selengkapnya dilihat Obrolan Dapur Ibu

 

 

 

 

Comments

Popular Posts