Obat untuk Anakku


Aksi

Aku menggelar aksi di sebuah titik keramaian di sudut kota besar dimana orang-orang berkumpul di hari itu.

Bersama anakku yang duduk di kursi roda, aku mengingatkan ke publik bahwa dirinya telah menahun menunggu sebuah institusi tinggi di sebuah lembaga untuk mengadili uji materi undang-undang demi legalisasi ganja untuk pengobatan (medis).

Aku meminta lembaga tersebut segera mengabulkan permohonan ku tersebut agar bisa mengobati buah hatiku.

Permohonan

Aku telah melayangkan permohonan uji materi UU Narkotika bersama dua ibu lainnya ke lembaga tersebut pada tahun 2020 di bulan November.

Permohonan itu teregistrasi dan mendapatkan nomor di lembaga tersebut.

Kami meminta agar lembaga tersebut mengizinkan penggunaan ganja dan narkotika golongan 1 lainnya untuk kebutuhan kesehatan atau terapi.

Buah Hati Sakit

Buah hatiku menderita kelainan otak Japanese encephalitis dan membutuhkan ganja untuk pengobatan. Ia kerap mengalami kejang akibat kondisi tersebut.

Kejang yang dialami anakku dapat diatasi dengan menggunakan ganja sebagai terapi. 

Hal itu aku ketahui dari temanku yang memiliki anak yang mengidap Cerebral palsy.

Berita

Aku mendengar banyak berita di luar ganja bisa mengurangi dan bahkan ada yang bisa zero kejang di luar. Tapi kan di sini tidak bisa karena di sini belum legal. 

Jadi aku memohon kepada lembaga konstitusi tertinggi di negara ini agar segera memberikan kepastian hukum kepada kami.

Uji Materi

Aku dan pemohon lainnya mengajukan uji materi terhadap Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). 

Dalam permohonan itu, kami meminta legalisasi penggunaan ganja dan Narkotika Golongan I lainnya untuk kebutuhan pengobatan.

Kesulitan

Aku membutuhkan minyak cannabis (CBD oil) demi memperbaiki kualitas kesehatan anakku. Namun, di negara ini, penggunaan ganja termasuk untuk kepentingan kesehatan dilarang. Sehingga, belum ada sedikitpun akses yang sah untuk mendapatkan minyak cannabis. Anakku juga kesulitan mendapatkan terapi.

Ada dua ibu lainnya juga memohon pengujian sepertiku lantaran sang anak menderita Cerebral palsy. Salah satu ibu itu ada yang pernah membawa sang anak ke negara bagian Victoria, Australia, untuk menjalani pengobatan. Setelah dilakukan terapi ganja setiap hari selama satu bulan, kondisinya pun membaik dan gejala kejangnya berhenti total.

Permohonan

Oleh sebab itu, pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I dinilai menimbulkan kerugian konstitusional kepada para ibu. Pelarangan ganja dinilai berpotensi menghalangi para ibu memperoleh pengobatan untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak-anak mereka.

Faktanya, di banyak negara berdasarkan penelitian yang ada, pengobatan termasuk terapi terhadap penyakit tertentu yang menggunakan narkotika Golongan I telah ada dan digunakan. Berdasarkan hal tersebut, pelarangan narkotika Golongan I secara nyata telah menghilangkan pemanfaatan narkotika Golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan demikian tertulis dalam salah satu poin alasan permohonan.

Bunyi permohonan yaitu hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sudah diadopsi dalam Pasal 4 huruf a dan Pasal 7 UU 35/2009. Pasal 4 huruf a UU 35/2009 berbunyi: menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a jo Pasal 7 UU 35/2009, jelas disebutkan bahwa narkotika dapat digunakan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi.

Dalam permohonan, kami, para pemohon menyatakan beberapa jenis narkotika Golongan I dapat digunakan untuk pengobatan berdasarkan hasil penelitian yang telah diuji klinis dan diterapkan serta diakui di berbagai negara. Jenis-jenis narkotika itu antara lain ganja, Diacetilmorfina, dan opium.

Menunggu Putusan

Berdasarkan penelusuran jalannya perkara di situs resmi MK, uji materi yang dilayangkan diriku dan kawan-kawan tinggal menunggu putusan hakim konstitusi dibacakan saja.

Setidaknya sudah sebelas agenda persidangan, dari yang mulai pertama pada 16 Desember 2020, dilalui Santi dkk. Persidangan terakhir dilaksanakan pada 7 Maret 2022 dengan agenda MK mendengarkan keterangan ahli dari presiden.

Selanjutnya, segala hal yang diungkap dalam persidangan itu dibicarakan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) guna didapatkan keputusannya.

Tidak Ada Manfaat Klinis

Mengutip dari Liputan6.com, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Arianti Anaya mewakili Pemerintah menyampaikan bahwa larangan penggunaan minyak ganja ataupun ganja untuk tujuan medis belum dapat dilakukan di Indonesia.

Selain karena sulitnya pengawasan penggunaan ganja jika dilihat dari letak geografis Indonesia, Arianti juga menyebut belum ada bukti manfaat klinis dari penggunaan ganja ataupun minyak ganja untuk pengobatan di Indonesia.

"Dengan demikian, kalangan medis tidak menggunakan ganja dan produk turunannya pada saat ini. Meskipun saat ini di Amerika salah satu kandungan, yaitu Kanabidiol dapat memberikan efek anti epilepsi dan sudah di-approve oleh FBI pada tanggal 28 Juni 2018 dengan nama epidiolex, tetapi di Indonesia terdapat drug of choice epilepsy, yaitu gabapentin, asam valproat, dan sebagainya," urai Arianti.

Tak hanya itu, Arianti menambahkan penggolongan narkotika telah didasarkan pada kesepakatan internasional. Oleh karenanya, hanya narkotika Golongan 3 yang punya potensi ringan menyebabkan ketergantungan. 

Sedangkan untuk narkotika Golongan 1 masih menduduki tempat tertinggi yang menyebabkan ketergantungan bagi penggunanya.

"Maka sangat logis jika narkotika Golongan 1 hanya digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang untuk pelayanan kesehatan," ucap Arianti.

Referensi Kisah:

https://www.cnnindonesia.com

https://m.liputan6.com



Comments

Popular Posts