Serangan Kejang: Kisah Seorang Lansia yang Berjuang dengan Komplikasi Stroke


Pak Sugeng, seorang pria berusia 76 tahun, telah menjalani hidup penuh tantangan sejak terkena serangan stroke pada tahun 2018. 

Sebagai seorang yang dulunya aktif, stroke menjadi pukulan berat bagi Pak Sugeng, yang pada akhirnya mengubah seluruh dinamika hidupnya. 

Sejak saat itu, kesehariannya berubah menjadi rangkaian terapi rehabilitasi, kunjungan dokter, serta pengobatan rutin. 

Namun, takdir rupanya menyimpan ujian tambahan untuknya. 

Di pertengahan tahun 2024, tepatnya pada bulan Juni, Pak Sugeng mengalami serangan kejang pertama yang membuat keluarganya sedih. 


Awal Mula Serangan di Bulan Juni

Kejadian itu bermula pada suatu pagi di bulan Juni. 

Hari itu berjalan seperti biasa. 

Pak Sugeng sedang tiduran, ditemani sang istri, Bu Sumiati, yang sholat didekatnya, yang setia merawatnya sejak serangan stroke pertama mereka alami bersama. 

Mendadak, tubuh Pak Sugeng mulai kejang. Matanya membelalak, kemudian memutih dan ia tidak dapat mengendalikan gerakannya. 

Tubuhnya bergetar hebat, mulutnya berbusa, dan ia kehilangan kesadaran. 

Bu Sumiati panik bukan main. 

Ia tidak pernah menyangka bahwa stroke yang dialami suaminya bisa memicu komplikasi lain seperti serangan kejang ini.


Tanpa pikir panjang, Bu Sumiati segera memanggil anak mereka, Dani, yang tinggal tak jauh dari rumah. 

Dani segera melarikan ayahnya ke rumah sakit terdekat. 

Di ruang gawat darurat, dokter menyampaikan bahwa serangan kejang yang dialami Pak Sugeng kemungkinan besar terkait dengan kondisi pasca-stroke yang memengaruhi fungsi otak. 

Kejang dapat terjadi ketika jaringan otak yang telah rusak oleh stroke tidak dapat berfungsi normal, sehingga menyebabkan aktivitas listrik yang tidak terkontrol di dalam otak.


Dokter pun memberi penjelasan bahwa kejang pada pasien stroke bukanlah hal yang jarang terjadi. 

Terutama pada mereka yang pernah mengalami stroke parah seperti Pak Sugeng. 

Selain itu, usia lanjut memperparah risiko komplikasi yang mungkin timbul. 

Pak Sugeng diberikan obat antikejang dan disarankan untuk terus dipantau ketat, khususnya dalam beberapa bulan ke depan, karena serangan kejang yang pertama ini bisa jadi awal dari serangkaian kejang yang lebih sering.


Serangan Kejang Kedua di Bulan Agustus

Meski setelah serangan di bulan Juni, Pak Sugeng telah memulai pengobatan rutin dengan obat antikejang, situasinya ternyata tidak kunjung membaik sepenuhnya. 

Pada awal bulan Agustus, ketika keluarga besar tengah merencanakan liburan singkat ke rumah saudara di luar kota, serangan kejang kedua terjadi.

Kali ini, Dani sedang bersama ayahnya di kamar ketika tiba-tiba, tubuh Pak Sugeng kembali bergetar hebat. 

Kejadian ini sangat mengejutkan Dani karena obat antikejang sudah diberikan secara teratur. 

Sama seperti sebelumnya, tubuh ayahnya terasa kaku, matanya melotot tanpa kendali, dan ia tidak responsif terhadap panggilan.


Dani segera memanggil ambulans, dan Pak Sugeng kembali dilarikan ke rumah sakit. 

Selama perjalanan, kejangnya mulai mereda, tetapi ia tetap tak sadarkan diri. 

Sesampainya di rumah sakit, dokter yang menangani menjelaskan bahwa dosis obat antikejang mungkin perlu disesuaikan atau diganti, mengingat kejang masih bisa terjadi meskipun pasien telah mendapat pengobatan. 

Selain itu, kondisi otaknya pasca-stroke juga kian rentan seiring bertambahnya usia.

Dokter pun mengingatkan kembali tentang pentingnya memantau segala perubahan pada pasien stroke seperti Pak Sugeng. 

Ia rentan terhadap berbagai komplikasi, termasuk risiko kejang berulang. 

Sistem saraf otak yang sudah mengalami kerusakan tidak dapat pulih sepenuhnya, dan serangan kejang bisa saja datang kapan saja, meskipun pasien sudah rutin minum obat.


Kejang Ketiga di Bulan Oktober

Pak Sugeng sempat tenang selama beberapa minggu setelah insiden kedua pada bulan Agustus. 

Namun, di bulan Oktober, Selasa, 15 Oktobee 2024, menjelang Subuh, ketika keluarganya mulai merasa bahwa keadaan mungkin berangsur membaik, kejang ketiga datang.

Bu Sumiati yang saat itu berada di dekat Pak Sugeng, mendapati tubuh suaminya kaku dan gemetar hebat. 

Namun, kejang yang dialami kali ini berlangsung lebih lama dibanding serangan-serangan sebelumnya. 

Wajah Pak Sugeng terlihat semakin pucat, dan pernapasannya terdengar semakin terengah-engah.


Mata memutih, keringat dingin keluar, mulutnya mengeluarkan ludah. 


Dengan cemas, Bu Sumiati menghubungi Dani, yang langsung membawa ambulans untuk segera membawa ayahnya ke rumah sakit. 

Setibanya di rumah sakit, dokter kembali memberikan obat penenang dan memantau kondisi Pak Sugeng dengan seksama. 

Setelah kejang mereda, Pak Sugeng ditempatkan di ruang ICU untuk observasi lebih lanjut.


Dampak Serangan Kejang pada Kehidupan Pak Sugeng

Serangan kejang berulang yang dialami Pak Sugeng sangat memengaruhi kualitas hidupnya. 

Kondisi fisiknya yang sudah lemah setelah stroke menjadi semakin rapuh. 

Meski sudah ada perawatan medis yang intensif, serangan-serangan ini menambah beban fisik dan mental, tidak hanya bagi Pak Sugeng sendiri, tetapi juga bagi keluarganya.


Bagi Dani dan Bu Sumiati, kejang-kejang ini menjadi mimpi buruk yang selalu menghantui. 

Setiap kali mereka melihat Pak Sugeng bergetar tanpa kendali, ada perasaan sedih yang menghantam hati mereka. 

Meski dokter telah memberikan penjelasan, ketidakpastian kapan kejang berikutnya akan terjadi membuat mereka hidup dalam kewaspadaan konstan.


Namun, keluarga Pak Sugeng tetap berusaha memberikan yang terbaik. 

Mereka berharap ada cara agar Pak Sugeng dapat menjalani hari-harinya tanpa harus terus-menerus dihantui oleh kemungkinan serangan kejang.


Harapan dan Tantangan Ke Depan

Meski serangan kejang menjadi tantangan besar, keluarga Pak Sugeng tidak menyerah. 

Mereka berkonsultasi dengan ahli saraf untuk mencari pengobatan yang lebih tepat. 

Dokter menyarankan kombinasi terapi, termasuk terapi fisik dan mental, agar Pak 

Sugeng tetap bisa menjaga fungsi motorik dan mentalnya sebaik mungkin. 

Selain itu, mereka juga dianjurkan untuk menjaga pola hidup sehat dengan memperhatikan asupan makanan serta melakukan aktivitas ringan yang bisa merangsang otak.

Pak Sugeng, dengan segala keterbatasannya, tetap berusaha bertahan karena Allah. 

Takdir terbaik dari Allah. 



Keluarganya menjadi sumber kekuatan utamanya. 

Kisah ini adalah cerminan dari perjuangan banyak lansia yang mengalami komplikasi pasca-stroke. 

Meski penuh tantangan, semangat untuk tetap bertahan dan dukungan dari orang-orang terdekat bisa menjadi penggerak utama bagi mereka yang berjuang di tengah keterbatasan fisik dan kesehatan.

Comments

Popular Posts