Selesai dengan Dirinya Sendiri?



Di sebuah kota kecil yang tenang, hiduplah seorang pria bernama Amir. 


Sekilas, hidupnya tampak sempurna—pekerjaan stabil, keluarga yang menyayanginya, dan teman-teman yang selalu mendukungnya. 


Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang tidak pernah benar-benar selesai; perasaan hampa yang terus menggerogoti, meskipun ia tak tahu apa sebenarnya yang hilang.


Ambisius

Sejak muda, Amir adalah seorang yang ambisius. 


Ia punya banyak mimpi besar dan tujuan hidup yang jelas, namun seiring berjalannya waktu, ia merasa tak lagi mengenali dirinya sendiri. 


Mimpinya yang dulu menggebu-gebu kini terasa hampa. 


Setiap hari, ia menjalani rutinitas yang sama, bekerja dari pagi hingga petang, pulang ke rumah, lalu kembali bangun di pagi hari untuk mengulang segalanya. 


Ia tidak bahagia, namun tak mampu mengungkapkan alasan di balik kegelisahannya.


Validasi

Hingga suatu hari, ia bertemu dengan seorang teman lamanya, Dani. 


Mereka bertemu secara kebetulan saat Amir sedang dalam perjalanan pulang. 


Melihat Dani yang tetap ceria dan penuh semangat membuat Amir merasa iri. 


Ia bertanya pada temannya, "Bagaimana kau bisa tetap terlihat bahagia? Apa yang membuatmu merasa hidup?"


Dani tersenyum. "Aku menemukan apa yang benar-benar membuatku hidup, Mir. 


Aku berhenti mencari validasi dari orang lain dan mulai jujur pada diriku sendiri," jawab Dani dengan tenang.


Kata-kata itu menghantui Amir selama berhari-hari. 


Ia mulai menyadari bahwa hidupnya selama ini hanya dihabiskan untuk memenuhi harapan orang lain—orang tuanya, bosnya, bahkan harapan masyarakat. 


Ia tak pernah benar-benar jujur pada dirinya sendiri. 


Ada sisi dalam dirinya yang belum pernah ia selesaikan; sisi yang terus berusaha menemukan arti dan makna hidup yang sejati.


Menelusuri Lukisan

Dalam pencariannya, Amir mulai menelusuri hobinya yang dulu terabaikan. 


Ia mulai melukis lagi, sesuatu yang dulu ia cintai, tetapi terpaksa ia tinggalkan demi pekerjaan yang lebih ‘aman’. 


Pada awalnya, semua terasa canggung; tangannya kaku, dan inspirasinya seakan menghilang. 


Namun, lambat laun, ia mulai menemukan kembali kegembiraan dalam setiap goresan warna di kanvasnya.


Seiring waktu, Amir semakin tenggelam dalam proses kreatifnya. 


Melalui lukisan, ia mampu mengungkapkan segala rasa yang tak bisa ia sampaikan dengan kata-kata. 


Ia melukiskan kerinduannya akan kebebasan, kekecewaannya pada hidup, dan harapannya untuk menjadi seseorang yang utuh. 


Proses ini membuatnya menyadari bahwa selama ini ia hanya menekan keinginannya dan berusaha menjadi apa yang diinginkan orang lain.

Tantangan

Namun, perjalanan Amir bukan tanpa tantangan. 


Ketika ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu untuk melukis, orang-orang di sekitarnya mulai mempertanyakan pilihannya. 


Keluarganya khawatir, teman-temannya heran, dan bosnya tidak mengerti mengapa Amir mulai sering mengambil cuti. 


Meski begitu, Amir perlahan belajar untuk mengabaikan komentar-komentar tersebut dan fokus pada kebahagiaan batinnya.


Pada akhirnya, Amir sadar bahwa kebahagiaan tidaklah datang dari hal-hal yang terlihat di luar. 


Kebahagiaan adalah tentang menjadi jujur pada diri sendiri, tentang menerima segala bagian dari dirinya, baik itu yang indah maupun yang gelap


Ia tidak lagi merasa harus menyelesaikan sesuatu demi pengakuan orang lain


Ia tahu, perjalanan untuk "selesai" dengan dirinya sendiri adalah sebuah proses yang mungkin tak pernah benar-benar berakhir.


Amir kini telah menemukan kedamaian yang selama ini ia cari-cari, bukan dalam bentuk kesuksesan atau pengakuan, tapi dalam penerimaan bahwa ia adalah individu yang terus berkembang, yang tak perlu sempurna untuk merasa utuh


Ia menerima dirinya yang penuh luka dan kekurangan, sebagai manusia yang terus belajar memahami arti kebahagiaan yang sebenarnya. 


Dengan kanvas di hadapannya dan kuas di tangannya, Amir akhirnya merasakan kebebasan yang ia cari selama ini.


Nama dalam cerita ini adalah rekaan" berarti bahwa semua nama tokoh dalam cerita atau kisah yang disampaikan sepenuhnya fiktif atau buatan.


Ungkapan "seseorang dianggap selesai dengan dirinya sendiri" sering kali menggambarkan kondisi di mana seseorang telah mencapai penerimaan diri, kedamaian batin, atau rasa cukup dalam menjalani hidup. 


Konsep ini kerap muncul dalam tulisan atau filosofi yang membahas tentang pencarian makna hidup, kedewasaan emosional, atau proses spiritual.

Menurut penulis atau filsuf, seseorang dianggap "selesai dengan dirinya sendiri" ketika ia tidak lagi terlalu tergantung pada pengakuan orang lain, bebas dari ambisi berlebihan, dan merasa cukup dengan apa yang ia capai atau miliki. 

Filosofis ini dapat ditemukan dalam berbagai karya. Contohnya:

Nietzsche berbicara tentang "Übermensch" atau manusia unggul yang mampu melampaui dirinya sendiri, tidak terbebani oleh nilai eksternal, dan hidup sesuai dengan nilai-nilainya sendiri.

Jean-Paul Sartre melalui eksistensialismenya menyebutkan bahwa manusia harus bertanggung jawab atas makna hidupnya sendiri, dan ia selesai dengan dirinya ketika sepenuhnya menerima kebebasan dan tanggung jawab itu.

Kahlil Gibran dalam karya "The Prophet" juga membahas bahwa penerimaan diri adalah bagian dari kedewasaan spiritual, di mana seseorang mampu menerima segala bagian dirinya, baik dan buruk.

Rene Descartes melalui filsafat skeptisnya mendorong pemikiran bahwa "saya berpikir, maka saya ada," yang dapat diinterpretasikan sebagai dasar bagi seseorang untuk selesai dengan dirinya setelah memahami eksistensi dirinya sendiri.

Namun, dalam konteks yang lebih sederhana, banyak orang menganggap seseorang selesai dengan dirinya sendiri ketika ia mencapai kedamaian batin, tidak lagi terlalu ambisius, dan menjalani hidup dengan tenang tanpa tuntutan berlebihan dari dalam maupun luar dirinya.

Dalam pandangan Islam, konsep "selesai dengan dirinya sendiri" bisa diartikan sebagai kondisi di mana seseorang merasa telah mencapai kedamaian, kepuasan, dan pengendalian diri. 

Ini berarti dia telah menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan selalu berusaha memperbaiki dirinya di jalan yang benar. 


Dalam Islam, hal ini tidak dianggap sebagai titik akhir, tetapi lebih kepada suatu keadaan hati dan jiwa yang tenang, yang disebut sebagai nafs al-mutmainnah (jiwa yang tenang).


Dalam Al-Qur'an, konsep ini disinggung dalam Surah Al-Fajr, ayat 27-30:


"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (QS. Al-Fajr: 27-30)


Dalam ayat ini, Allah berbicara kepada nafs al-mutmainnah, atau jiwa yang tenang, yang telah mencapai kedamaian dengan dirinya sendiri dan dengan Allah. 


Jiwa ini telah mencapai kebahagiaan spiritual yang hakiki, sehingga bisa kembali kepada Allah dengan penuh ridha dan diterima di sisi-Nya.


Menurut tafsir, kondisi ini dicapai bukan dengan berhenti berusaha atau puas dengan keadaan diri, melainkan melalui proses terus-menerus menjalankan perintah Allah, bersabar atas cobaan, bersyukur dalam nikmat, dan bertawakal. 

Dengan demikian, seseorang yang mencapai nafs al-mutmainnah adalah seseorang yang telah sampai pada tingkat keikhlasan tinggi, yang menerima apa pun ketentuan Allah dengan hati yang lapang.

Namun, Islam juga mengajarkan bahwa manusia selalu memiliki ruang untuk memperbaiki diri

Selesai dengan dirinya sendiri bukan berarti berhenti bertumbuh, melainkan merasa damai dengan jalan hidup yang dijalani karena telah berusaha sepenuhnya untuk mengikuti ajaran Allah.

Comments

Popular Posts